MEMBANGUN BUDAYA MASYARAKAT YANG BERKARAKTER
Oleh : Prof. Dr. Achmad mubarok, MA
Disampaikan dalam Sarasehan Nasional Perndidikan karakter, diselengarakan oleh Ditjen Pendidikan Tinggi &Kopertis Wilayah III Jakarta Kementerian Pendidikan Nasional,
Senin 12 April 2010
Pendahuluan
Pada era reformasi di negeri kita sekarang ini banyak sekali dijumpai perilaku masyarakat yang terasa “menyimpang” dari norma-norma tradisi yang mengambarkan kepatutan social. Ada yang menganggapnya sebagai konsekwensi logis reformasi, ada juga yang mengangap sebagai fenomena reformasi yang kebablasan. Jika pada masa orde baru kebanyakan Pejabat Negara itu dipandang terhormat dan dihormati, kini semua pejabat public bahkan presiden dan wakil presidenpun menjadi bahan olok-olok demonstran jalanan. Bukan hanya itu
, perilaku anarkipun dilakukan oleh lapisan masyarakat yang semestinya berkarakter, seperti mahasiswa, anggauta parlemen . Oleh karena itu dapat disebut bahwa anarki berlangsung dari jkalanan hingga Senayan. Pertaznyaan yang timbul adalah, apakah perilaku “menyimpang “ ini merupakan budaya masyarakat kini, atau sekededar fenomena musiman? Pertanyaan mendasar berikutnya, mengapa terjadi hal itu dan siapa yang harus disalahkan atau siapa yang harus bertasnggung jawab ?
, perilaku anarkipun dilakukan oleh lapisan masyarakat yang semestinya berkarakter, seperti mahasiswa, anggauta parlemen . Oleh karena itu dapat disebut bahwa anarki berlangsung dari jkalanan hingga Senayan. Pertaznyaan yang timbul adalah, apakah perilaku “menyimpang “ ini merupakan budaya masyarakat kini, atau sekededar fenomena musiman? Pertanyaan mendasar berikutnya, mengapa terjadi hal itu dan siapa yang harus disalahkan atau siapa yang harus bertasnggung jawab ?
Pengertian Budaya
Banyak definisi tentang kebudayaan, tetapi saya memilih pandangan yang menyatakan bahwa kebudayaan adalah konsep, keyakinan, nilai dan norma yang dianut masyarakat yang mempengaruhi perilaku mereka dalam upaya menjawab tantangan kehidupan yang berasal dari alam sekelilingnya. Disamping sebagai fasilitas, alam adalah tantangan yang harus diatasi. Berbeda dengan hewan, manusia tidak puas hanya dengan apa yang terdapat dalam alam kebendaan. Dengan konsep yang dimiliki manusia berusaha mengolah alam ini , dan dengan kesadaran dan cita-citanya manusia merumuskan apa yang bermakna dan apa yang tidak bermakna dalam kehidupannya. Sekurang-kurangnya ada enam nilai yang amat menentukan wawasan etika dan kepribadian manusia sebagai indifidu maupun sebagai masyarakat, yaitu : ekonomi, solidaritas, agama, seni, kuasa dan teori.
One. Nilai teori. Ketika manusia menentukan dengan obyektip identitas benda-benda atau kejadian-kejadian, maka dalam prosesnya hingga menjadi pengetahuan, manusia mengenal adanya teori yang menjadi konsep dalam proses penilaian atas alam sekitar.
Two. Nilai ekonomi. Ketika manusia bermaksud menggunakan benda-benda atau kejadian-kejadian, maka ada proses penilaian ekonomi atau kegunaan, yakni dengan logika efisiensi untuk memperbesar kesenangan hidup. Kombinasi antara nilai teori dan nilai ekonomi yang senantiasa maju disebut aspek progressip dari kebudayaan.
Three. Nilai agama. Ketika manusia menilai suatu rahasia yang menakjubkan dan kebesaran yang menggetarkan dimana di dalamnya ada konsep kekudusan dan ketakziman kepada yang Maha Gaib, maka manusia mengenal nilai agama.
Four. Nilai seni. Jika yang dialami itu keindahan dimana ada konsep estetika dalam menilai benda atau kejadian-kejadian, maka manusia mengenal nilai seni. Kombinasi dari nilai agama dan seni yang sama-sama menekankan intuisi, perasaan, dan fantasi disebut aspek ekpressip dari kebudayaan.
Five. Nilai kuasa. Ketika manusia merasa puas jika orang lain mengikuti fikiranya, norma-normanya dan kemauan-kemauannya, maka ketika itu manusia mengenal nilai kuasa.
Six. Nilai solidaritas. Tetapi ketika hubungan itu menjelma menjadi cinta, persahabatan dan simpati sesama manusia, menghargai orang lain, dan merasakan kepuasan ketika membantu mereka maka manusia mengenal nilai solidaritas.
Enam nilai budaya itu merupakan kristalisasi dari berbagai macam nilai kehidupan, yang selanjutnya menentukan konfigurasi kepribadian dan norma etik individu maupun masyarakat. Nilai apa yang paling dominan pada seseorang atau sekelompok orang, atau bahkan suatu bangsa akan menentukan “sosok” mereka sebagai manusia budaya (al insan madaniyyun bi at thab`i). Orang yang lebih dipengaruhi oleh nilai ekonomi cenderung kurang memperhatikan halal dan haram, orang yang lebih dipengaruhi oleh nilai teori cenderung menjadi ilmuwan, yang lebih dipengaruhi oleh nilai kuasa cenderung tega dan nekad, yang lebih dipengaruhi oleh nilai agama dan seni cenderung menjadi sufi dan seterusnya, sehingga ada sosok orang yang materialis, seniman, pekerja sosial an sebagainya. Bisa juga ada ilmuwan yang mengabdi kepada materi, politisi yang pejuang, ulama yang rasionil, ilmuwan yang mistis dan sebagainya.
Budaya progressip akan mengembangkan cara berfikir ilmiah dan melahirkan berbagai cabang ilmu pengetahuan, sedangkan puncak dari budaya ekpressip bermuara pada kepercayaan mitologis dan mistik. Pendukung budaya progressip pada umumnya dinamis dan siap digantikan oleh generasi penerus dengan penemuan-penemuan baru, sedangkan pendukung budaya ekpressip biasanya statis atau tradisional, memandang kebudayaan sebagai sesuatu ang sudah final.
Budaya Islam Syar`iy
Sebagaimana telah diketahui bahwa sumber utama ajaran Islam adalah al Qur’an dan Sunnah Rasul. Dalam perjalanan sejarahnya, budaya lokal juga ikut mempengaruhi corak kebudayaan Islam. Istilah budaya Islam Syar`iy digunakan untuk membedakan bentuk pemahaman dan pengamalan Nabi atas agama yang belum dipengaruhi oleh budaya jahiliyah (unsur-unsur budaya lokal), sebaliknya justeru mengubah budaya jahiliyah yang musyrik menjadi agama tauhid, dengan bentuk-bentuk agama Islam yang telah dipengaruhi oleh unsur-unsur budaya lokal; seperti sekte-sekte Syi`ah, Khawarij dan juga ordo-ordo Sufi, dll. Fakta sejarah menunjukkan bahwa Islam seperti yang dicontohkan oleh Rasul, adalah sistem yang merupakan kesatuan utuh antara aspek aqidah (iman) aspek Islam (aturan-aturan formal) dan aspek ihsan (moral spiritual). Sepeninggal Rasul, untuk masa tertentu meski terjadi gejolak sosial dan politik, tetapi magnit al Qr’an dan Sunnah masih cukup kuat menarik jiwa penganutnya, terutama para sahabat besar sehingga budaya lokal tidak mempengaruhi secara signifikan terhadap budaya Islam.
Dapat dikatakan bahwa Islam yang asli telah diperagakan oleh Nabi Muhammad s.a.w. dan diteruskan oleh Khulafa Rasyidin, yakni pada periode dimana Madinah al Munawwarah masih menjadi pusat imamah. Pengamalan Islam pada periode ini masih sederhana tetapi tauhidnya sangat kokoh dan belum diwarnai oleh peradaban lain, sebaliknya malah mengubah budaya lokal Arab. Meski budaya Islam periode awal disebut masih sederhana, dan al Qur’an serta Sunnah Nabi menjadi nilai dasar, tetapi sebenarnya di dalamnya juga sudah ada nilai-nilai rasional, ekonomi, kuasa, solidaritas dan seni.
Membangun Masyarakat
Indonesia adalah negeri dengan jumlah pemeluk Islam terbesar di dunia. Tetapi apakah realita itu identik dengan telah terbangunnya masyarakat Islam di negeri ini, adalah sesuatu yang harus direnungkan. Dewasa ini bangsa dengan lebih duaratus juta kaum muslimin ini sedang diterpa berbagai predikat negatip, yang menjadikan agama yang dianut seakan tidak relevan dengan kualitas masyarakatnya. Harus diakui bahwa secara konstitusional, bangsa ini menganut satu ideologi yang bernama Panca Sila, satu rumusan berdasarkan sejarah kebangsaan dimana para pemimpin dan ulama terlibat dalam proses penyusunannya. UUD 45 bahkan sebelumnya adalah Piagam Jakarta yang kental dengan semangat ke Islaman. Akan tetapi harus juga diakui adanya realita bahwa banyak pemimpin muslim (bukan pemimpin Islam) dan juga anggauta masyarakat Islam yang tidak menjadikan ajaran Islam sebagai rujukan ketika harus memutuskan berbagai permasalahan. Ada yang lebih mengikuti budaya lokal (dan kepentingan lokal) dan ada yang mengikuti konsep sekuler dari Barat. Ketika dunia mengalami krisis, banyak orang mencari pemikiran alternatip sebagai upaya mencari solusi. Diantara pemikiran yang kini ditengok adalah konsep Islam tentang berbagai hal. Bank syari’ah yang pernah begitu lama dihambat kelahirannya misalnya, kini justeru menjadi trend di kalangan perbangkan nasional, disusul oleh Asuransi syari’ah, akuntansi syari’ah, reksadana syari’ah, menejemen syari’ah dan sebagainya.
Secara lahir, masyarakat nampaknya terbangun secara alamiah, tetapi bagi pemimpin, masyarakat itu harus dibangun, dan apa saja yang dibangun harus ada konsepnya. Bangunan tanpa konsep atau salah konsep akan berakibat rusaknya tatanan, seperti rusaknya tatanan masyarakat Indonesia dewasa ini. Sejalan dengan semangat reformasi, sudah tiba saatnya kita menggali konsep universal yang inspirasinya bersumber dari wahyu, maupun dari pemikiran filsafat.
Pengertian Masyarakat
Istilah masyarakat berasal dari bahasa Arab musyarakah. Dalam bahasa Arab sendiri masyarakat disebut dengan sebutan mujtama`, yang menurut Ibn Manzur dalam Lisan al `Arab mengandung arti (1) pokok dari segala sesuatu, yakni tempat tumbuhnya keturunan, (2) kumpulan dari orang banyak yang berbeda-beda . Sedangkan musyarakah mengandung arti berserikat, bersekutu dan saling bekerjasama. Jadi dari kata musyarakah dan mujtama` sudah dapat ditarik pengertian bahwa masyarakat adalah kumpulan dari orang banyak yang berbeda-beda tetapi menyatu dalam ikatan kerjasama, dan mematuhi peraturan yang disepakati bersama. Dari pengertian itu maka dapat kita bayangkan bagaimana anatomi dari masyarakat yang berbeda-beda. Dapat dijumpai misalnya ada; masyarakat desa, masyarakat kota, masyarakat Indonesia, masyarakat dunia, masyarakat Jawa, masyarakat Islam, masyarakat pendidikan, masyarakat politik dan sebagainya.Semua jenis masyarakat tersebut pastilah terdiri dari unsur-unsur yang berbeda-beda tetapi mereka menyatu dalam satu tatanan sebagai wujud dari kehendak bersama. Karena adanya dua atau beberapa kutub; yakni berasal dari unsur yang berbeda-beda tetapi bermaksud menyatu dalam satu tatanan, maka dari kutub pertama ke kutub ke dua ada proses yang membutuhkan waktu yang panjang. Masyarakat Indonesia misalnya, sudahkah mereka menyatu dalam kesatuan ? ternyata setengah abad merdeka belum cukup waktu untuk menyatukan sebuah masyarakat Indonesia meski sudah diwadahi dengan istilah Bhineka Tunggal Ika. Abad pertama kemerdekaan Indonesia nampaknya masyarakat Indonesia sebagai satu kesatuan masih merupakan nation in making, masih dalam proses menjadi. Hambatan dari proses itu adalah adanya rujukan dan kepentingan yang berbeda-beda. Demikian juga masyarakat Islam Indonesia, masyarakat OKI dan sebagainya.
Teologi Masyarakat
Dalam konteks ajaran Islam, indifidu tak bisa dipisahkan dari masyarakat. Menusia itu sendiri diciptakan Tuhan terdiri dari lelaki dan perempuan, bersuku-suku dan berbangsa-bangsa agar mereka saling mengenal (dan saling memberi manfaat), lita`arafu (Q/49:13). Disamping adanya perlindungan terhadap individu, juga ada perlindungan terhadap masyarakat. Meski individu memiliki kebebasan, tetapi kebebasan itu dibatasi oleh kebebasan orang lain, sehingga Islam menghendaki adanya keseimbangan yang proporsional antara hak individu dan hak masyarakat, antara kewajiban individu dan kewajiban masyarakat, juga keseimbangan antara hak dan kewajiban.
Dari Maqasid as Syari`ah (filsafat Hukum Islam) yang menyebut al kulliyyat al khamsah misalnya, mengambarkan konsep masyarakat dimana setiap individu harus dijamin hak-haknya dimana Pemerintah atau ulil amri sebagai wakil masyarakat yang tertinggi berkewajiban melindungi jiwa (khifdz an nafs) , hak kepemilikan harta (khifdz al mal), hak akal (khifsz al `aql atau hak intelektual), agama (khifdz ad din atau hak berkeyakinan) dan hak memelihara kesucian keturunan (khifdz an nasl).
Menurut al Qur’an, meski masyarakat itu merupakan kerjasama horizontal antar manusia, tetapi ia merupakan bagian dari hubungan vertikal dengan Tuhan. Oleh karena itu di dalam ber musyarakah (bermasyarakat) juga ada dimensi teologis, misalnya; salat menjadi tidak relevan jika melupakan komitmen sosial. Neraka wail disediakan bagi orang yang salat tetapi acuh terhadap komitmen sosial, dan orang seperti itu oleh al Qur’an dipandang sebagai orang yang mendustakan agama , araitalladzi yukazzibu biddin (Q/107). Demikian juga dalam hal tertib sosial, ketaatan kepada otoritas pemerintah disejajarkan dengan ketaatan kepada kepada Tuhan dan Rasul, athi`ullah wa athi`ur rasul wa uli al amri minkum (Q/4:59) . Dari hadis Nabi juga dapat diketahui bahwa rahmat Allah itu harus dipancing dengan komitmen sosial; irhamu man fi al ardhi yarhamukum man fi as sama’. Kontrak sosial dalam pernikahan juga bersifat vertikal dan horizontal, istahlaltum furujahunna bi kalimatillah wa akhaztumuhunna bi amanatillah. Menurut al Qur’an, Allah selalu hadir dalam kehidupan masyarakat (mengawasi); inna rabbaka labi al mirshad (Q/89:14)
Ideologi Masyarakat Islam
Masyarakat terbentuk sebagai wujud ketergantungan individu terhadap orang lain, karena manusia memang makhluk sosial. Manusia akan menjadi apa dan siapa tergantung dengan siapa ia bermusyarakat. Manusia di satu sisi memiliki tabiat kooperatip, tabiat bekerjasama dengan yang lain dalam memenuhi kebutuhannya. Di sisi lain manusia juga memiliki tabiat kompetitip, bersaing dengan yang lain dalam mencapai apa yang dibutuhkan. Tetapi manusia sebagai hayawanun nathiqun (hewan yang berfikir) terkadang lebih dominan hewannya dibanding berfikirnya. Sebuah Hadis Rasul bahkan menyebut tiga klassifikasi manusia, yaitu (1) shinfun hayawanun; yakni manusia dengan tabiat binatang, (2) shinfun ajsamuhum bani Adam wa arwahuhum arwah as syayathin (manusia dengan tabiat syaitan) dan (3) shinfun fi dzillillah (manusia pilihan). Oleh karena itu dalam bermasyarakat, terutama ketika sedang berkompetisi ekpressi manusia bermacam-macam, ada yang lebih menonjol kebinatangannya, ada yang lebih menonjol kesyaitanannya, dan sedikit yang mencerminkan manusia pilihan. Dalam hal manusia bertabiat hewan, ada yang seperti anjing (dengki), serigala (predator/buas), ular (licik) , ayam jago (free sex), dan lalat (yang bersih dan yang kotor diembat semua).
Al Qur’an sebagai petunjuk hidup manusia juga membimbing mereka dalam membangun sebuah masyarakat. Tatanan masyarakat yang dikehendaki al Qur’an adalah masyarakat yang adil , berdasarkan etika dan dapat bertahan di muka bumi, dan model masyarakat seperti itu hanya mungkin terwujud jika memiliki ideologi. Manusia memiliki kebutuhan fitri untuk mempertahankan hidupnya, oleh karena itu manusia terdorong untuk memiliki jaminan ekonomi dan jaminan rasa aman. Semua tatanan masyarakat sebenarnya dimaksud untuk memperoleh dua hal tersebut. Oleh karena itu tuntunan Al Qur’an dalam membangun masyarakat juga mengedepankan infratruktur kesejahteraan sosial bagi terwujudnya dua jaminan tersebut. Butir-butir al Qur’an tentang infrastruktur kesejahteraan sosial antara lain :
1. Kekayaan tidak boleh berputar di kalangan orang kaya saja, kaila yakun dulatan baina al aghniya (Q/59:7), di dalam harta si kaya ada hak orang miskin, wafi amwalihim haqqun lissa’ili wa al mahrum (Q/70:24-25), zakat diratakan kepada kelompok yang membutuhkan (8 asnaf), harta kekayaan dipandang sebagai karunia Tuhan (fadhlullah (Q/62:10) dan modal kebaikan universal , faman tathawwa`a khairan fahuwa khairun lahu (q/2:184), berlomba-lomba menumpuk kekayaan dicela, alhakum attakatsur (Q/102), alladzi jama`a malan wa `addadahu (Q/104) , riba juga dilarang (Q/30:39)
2. Keadilan harus ditegakkan, kunu qawwamuna bi al qisth (Q/4:135), kesaksian juga harus diberikan secara jujur, meski merugikan diri sendiri, kepada musuhpun harus bersikap adil, wala yajrimannakum syana’anu qaumin an ta`dilu (Q/5:8).
3. Untuk melanggengkan ikatan masyarakat, harus ada kepemimpinan kolektip, wa amruhum syura bainahum (Q/42:38), tetapi juga harus ada otoritas negara sebagai wakil masyarakat yang tertinggi, disebut ulil amri, dimana ia berwenang menegakkan hukum di tengah masyarakat, menengahi konflik sosial, dan mengamankan distribusi bagi kesejahteraan sosial.
4. Dalam hidup kemasyarakatan, unit kekeluargaan diperkukuh, ketaatan kepada orang tua sangat ditekankan , wa bil walidaini ihsana, wa dzil al qurba wa al yatama wa al masakin (Q/2:83) dan solidaritas sosial mukmin ditekankan, (Q/4:36).
5. Untuk meningkatkan peran serta masyarakat, di buka pintu amar ma`ruf nahi munkar sebagai sistem kontrol sosial (Q/3:104)
6. Persekongkolan jahat sangat dicela, pemberontakan destruktip (bughat) kepada negara tidak dibolehkan, tetapi kritis kepada perilaku yang salah sangat dianjurkan.Nabi Nuh misalnya adalah pemberontak terhadap tatanan masyarakat yang menyimpang, fasad fi al ardh..
Lahirnya Masyarakat Islam Yang Pertama
Tiga belas tahun pertama risalah Nabi, yakni periode Makkah, Nabi belum berhasil membangun masyarakat dengan tatanan ang beretika dan berkesejahteraan sosial. Makkah bagaikan tanah tandus yang susah ditanami nilai-nilai ke Islaman. Keputusan Nabi untuk hijrah ke Madinah membuka peluang untuk lahirnya masyarakat Islam, yakni masyarakat yang memiliki tatanan etik dan sosial sesuai dengan ajaran Islam, atau yang sekarang disebut dengan nama masyarakat madani. Pertanyaan yang timbul adalah sejak kapan masyarakat Islam itu terwujud di Madinah ? Pendapat para ahli berbeda-beda, ada yang mengatakan ; (1) hanya enam bulan terakhir masa kenabian, (2) sejak berakhirnya perang ahzab dan putusnya perjanjian dengan kaum Yahudi Madinah.
Yang menarik ialah perubahan nama kota Yatsrib yang oleh Nabi diganti menjadi Madinah. Penggantian nama Madinah bukan hanya sekedar nama tetapi mengandung konsep masyarakat. Jika Al Qur’an menyebut istilah khairo ummah (umat yang ideal) dan ummatan wasathan (umat yang berkeadilan/penengah), maka nama Madinah mengandung arti negeri dimana penduduknya hidup secara beradab atau berperadaban tinggi. Jika dilengkapi dengan al Munawwarah maka artinya peradaban tingi yang disinari atau diterangi (oleh wahyu).
Ada proses-proses bagaimana Nabi menegakkan pilar-pilar masyarakat Madinah, antara lain :
1. Mempersaudarakan pengungsi Makkah (Muhajirin) dengan penduduk Madinah (Ansar), dan kedua kelompok itu akhirnya menjadi pilar utama tegaknya masyarakat Islam di Madinah.
2. Mengatur tata pergaulan sosial dengan agama, baik dalam kehidupan rumah tangga (pernikahan dengan segala hal yang terkait) maupun kehidupan sosial (mu`amalah).
3. Meneguhkan kedudukan dirinya (Rasul) sebagai pemimpin masyarakat, yang dalam menjalankan kebijakan selalu bermusyawarah dengan sahabat-sahabat besar (aspirasi masyarakat)
4. Menjalin perjanjian perdamaian dengan semua kekuatan sosial yang ada (terkenal dengan Piagam Madinah)
5. Menegakan hukum yang disepakati (Piagam Madinah), antara lain menghukum para penghianat perjanjian.
6. Memberikan keteladanan yang sangat tinggi (uswah hasanah) dalam kehidupan sebagai pribadi, sebagai pemimpin keagamaan dan pemimpin masyarakat.
7. Selama sepuluh tahun periode Madinah, Nabi bukan saja berhasil membangun masyarakat madani di kota Madinah, tetapi juga berhasil menyatukan seluruh wilayah semenanjung Arabia dalam kesatuan wilayah politik.
Pilar-Pilar Masyarakat Islami.
Sebagaimana disebutkan diatas bahwa masyarakat adalah kumpulan dari orang banyak yang berbeda-beda tetapi menyatu dalam ikatan kerjasama, dan mematuhi peraturan yang disepakati bersama. Masyarakat yang ideal adalah yang meski mereka memiliki sub jati diri yang berbeda-beda tetapi mereka menyatu dalam satu identitas masyarakat, mematuhi peraturan yang disepakati bersama dan bekerjasama dalam mencapai tujuan bersama. Sepintas pemikiran ini sejalan dengan konsep Bhinneka Tunggal Ika yang menjadi ruh terbangunnya bangsa Indonesia. Tujuan bersama masayarakat adalah membangun kesejahteraan sosial dimana setiap indifidu terlindungi hak-haknya oleh sistem sosial. Sistem sosial akan kuat jika didukung oleh sub sistem yang menjadi pilarnya.
Harus dibedakan antara nama masyarakat Islam dan masyarakat Islami. Masyarakat Islam adalah kumpulan masyarakat yang beragama Islam, sedangkan masyarakat Islami adalah masyarakat yang didalamnya berlaku nilai-nilai Islam.
Jika suatu masyarakat terbangun sesuai dengan konsep tersebut diatas maka tatanan masyarakat itu akan sangat indah, apa yang oleh Nabi disebut sebagai taman. Dunia manusia (masyarakat) itu berpeluang menjadi taman yang indah jika didukung oleh pilar-pilar yang kuat. Ad dunya bustanun tuzuyinat bikhamsati asy ya’. Menurut Nabi ada enam pilar yang diperlukan bagi terbangunnya taman manusia, yaitu (1) ilmunya ulama, (2) keadilan penguasa, (3) kejujuran para pengusaha (4) kemurahan hati orang kaya, (5) doa orang miskin dan (6) disiplin para pekerja (7) ibadahnya para hamba.
Pilar pertama ; ilmunya ulama
Yang dimaksud ulama dalam konteks ini adalah para ahli, ilmuwan tidak terbatas pada ahli ilmu agama. Yang dimaksud ilmunya ulama sebagai pilar masyarakat adalah konsep ilmiyah. Suatu tatanan masyarakat harus berdiri diatas konsep ilmiyah. Undang-undang, peraturan, Struktur organisasi dan program-program harus teruji secara ilmiah. Sebuah konsep harus didasari oleh filosofi ya\ng benar dan struktur pemikiran yang logis. Dengan konsep yang logis maka dinamika masyarakat bisa direkayasa (sosial engeenering) dan diprediksi. Pada tataran masyarakat manapun ulama (ilmuwan) menempati kedudukan yang terhormat.
Pilar Kedua; Keadilan Penguasa (Umara)
Ketika sebuah konsep diaplikasikan maka ia harus dipatuhi secara konsisten dan proporsional menyangkut tertib, sistem, kadar dan peruntukan. Sebaik apapun suatu konsep jika ketika diterapkan tidak dipatuhi maka hasilnya tidak akan optimal atau bahkan gagal. Yang berwenang mengawasi agar suatu peraturan berlangsung sebagaimana mestinya adalah Pemerintah atau Penguasa (Umara) dalam semua tingkatanya. Jika Pemerintah menjalankan secara benar maka ia disebut adil. Jika dalam menjalankan peraturan itu banyak penyimpangan, distorsi dan korupsi maka ia disebut zalim. Keadilan Penguasa merupakan pilar kedua yang menjamin terbangunnya masyarakat sebagai taman inah.
Pilar Ketiga ; Kejujuran Para Pengusaha
Dalam tatana\n masyarakat manapun ada kelompok pengusaha, yakni mereka yang bekerja mendekatkan masyarakat dari kebutuhannya yang dengan itu masyarakat merasa nyaman dalam hidupnya karena segala kebutuhannya mudah dijangkau. Untuk jasa mendekatkan masyarakat dari kebutuhannya pengusaha atau pedagang boleh mengambil keuntungan. Jika dunia usaha tumbuh dengan sehat maka kehidupan masyarakat akan dinamis dan semarak. Tetapi pengusaha juga punya peluang untuk memeras masyarakat dan menghancurkan tatanannya, yaitu jika para pengusaha tidak jujur atau tidak amanah. Pengusaha dapat memark up harga, kongkalingkong dengan penguasa, manipulasi kualitas, manipulasi pajak dan sebagainya yang bisa berdampak pada hilangnya rasa kepercayaan (trust) masyarakat. Jika kepercayaan sudah hilang, maka hidup di tengah masyarakat seperti itu sama sekali tidak nyaman. Kejujuran pengusaha dikontrol oleh Pemerintah dan masyarakat, jika aparat Pemerintah (umara) berhasil disuap oleh pengusaha sehinga keuangan negara dibobol, kualitas produk dipalsu maka yang dirugikan adalah masyarakat dan negara. Disinilah perlunya aparat yang kuat mental sehingga mereka tetap bertindak adil
Pilar Ke Empat : Kemurahan Hati Orang Kaya
Pada tataran masyarakat manapun ada kelompok orang kaya dan kelompok orang miskin. Secara sosiologis orang kaya biasanya dekat dengan penguasa, dan bahkan ada masyarakat dimana penguasa dikendalikan oleh pengusaha. Dalam dunia modern seringkali terjadi yang kaya bertambah kaya dan yang miskin bertambah miskin. Akibatnya kecemburuan sosial terjadi, orang miskin membenci orang kaya, orang kaya mempersempit ruang gerak orang miskin. Dalam praktek sering terjadi pengusaha diperalat oleh orang kaya justeru untk menindas orang msikin sekaligus melindungi orang kaya. Orang kaya akan menjadi pilar masyarakat apabila mereka memiliki sifat murah hati. Mereka berfikir positip terhadap lapisan orang miskin, sehingga dengan segala cara melakukan usaha bagaimana meningkatkan kesejahteraan orang miskin. Harus diakui bahwa orang kaya biasanya lebih kreatip dibanding orang miskin. Orang kaya yang murah hati biasanya dicintai dan dibela oleh orang miskin, dan ini memberi kontribusi yang sangat besar pada stabilitas sosial, karena kecemburuan sosial justeru sangat rentan terhadap munculnya perilaku anarkis orang miskin terhadap orang kaya.
Pilar Kelima : Doa orang miskin
Orang-orang miskin secara ekonomi adalah kaum lemah yang terkadang menjadi beban Pemerintah. Secara sosiologis psikologis kelompok miskin (proletar menurut term komunis) bisa berubah menjadi bara panas yang bisa mengguncangkan tatanan sosial. Di negeri-negeri Komunis lapisan orang miskin dijadikan ikon perjuangan politik melawan orang kaya (borjuis). Di Jakarta ada kelompok kecil yang menjadikan orang miskin perkotaan sebagai ikon perjuangan politik melawan kemapanan, meski kecil tetapi sangat efektip untuk mengguncang-guncang ibu kota. Kemiskinan adalah musuh, tetapi apa persepsi musuh bisa berbeda-beda. Untuk memadamkan bara api kemiskinan dapat dilakukan dengan pemberlakuan pola hidup sederhana, yakni meski orang kaya tetapi pola konsumsi tetap sederhana, sekedar meme nuhi kebutuhan obyektip. Pamer kemewahan dari kelompok orang kaya akan mudah sekali menumbuhkan kecumburuan sosial yang bisa dipropokasi untuk menjadi anarki. Tetapi jika lapisan orang miskin tidak cemburu kepada orang kaya, apalagi jika merasa terbuka peluang obyektipnya untuk berjuang, dan merasakan kehangatan dari kemurahan hati orang kaya, maka orang-orang miskin akan selalu mendoakan secara berjamaah, berdoa untuk pemimpinnya dan berdoa untuk orang-orang baik. Nah doa orang miskin mempunyai peran signifikan dalam membangun rasa tenteram masyarakat. Orang miskin yang sabar pada umumnya didalam jiwanya penuh dengan rasa kasih sayang yang oleh karena itu sangat terdorong untuk berdoa, baik untuk dirinya maupun untuk orang lain, sementara orang msikin yang merasa teraniaya pada umumnya dipenuhi rasa marah dan dendam yang mudah sekali dipropokasi untuk melakukan tindak anarkis.
Pilar keenam; Disiplin Para Pekerja
Dari delapan asnaf yang berhak menerima zakat ada yang disebut `amilin, yakni orang-orang yang bekerja mengumpulkan dan mendistribusikan zakat. Maknanya setiap program, pekerjaan dan usaha pasti ada elemen pekerja atau buruh, dan mereka adalah bagian dari produksi yang berhak menerima upah. Tanpa pekerja pabrik tak akan jalan, tanpa pegawai Pemerintah tak akan jalan, tanpa karyawan institusi usaha tak kan jalan. Jadi pekerja adalah bagian dari produksi yang juga sangat menentukan tingkat produktiftas sebuah lembaga. Buruh adalah orang yang menggantungkan hidupnya dari upah kerja, dimana modalnya bukan uang tetapi tenaga dan kepandaian. Oleh karena itu agama menganjurkan agar upah kerja dibayarkan segera sebelum “keringatnya” kering. Maknanya karena buruh hidupnya sangat bergantung kepada gaji maka pembayaran gaji tidak boleh ditunda, sesuai dengan sistemnya, harian, mingguan, bulanan atau borongan. Di negara industeri kaum buruh sangat besar peranannya hingga mereka bisa mengontrol pemerintahan dengan mendirkan Partai Buruh . Gerakan buruh yang kompak juga bisa mengguncangkan sendi-sendi pemerintahan. Oleh karena itu perlu ada sistem perburuhan yang menjamin kesejahteraan kaum pekerja, dan disiplin kaum pekerja akan menjadi pilar dari keindahan taman dunia.
ZAKAT SEBAGAI SISTEM KESEJAHTERAAN SOSIAL
Zakat adalah satu dari rukun Islam yang lima, artinya zakat merupakan sendi agama. Bentuk zakat adalah memberikan sebagian harta secara reguler kepada orang lain yang berhak, ada yang setahun sekali setiap Idul Fitri (zakat fitrah), ada yang setiap panen (zakat pertanian) ada yang setiap tutup buku (perdagangan) dan ada yang setiap berjumpa obyeknya (zakat barang temuan/harta karun). Bagi pembayar, zakat sebagaimana arti bahasa dari kata zakat mengandung arti suci dan tumbuh, yakni orang yang patuh membayar zakat , hatinya dididik menjadi suci, yakni hatinya sedikit-sedikit dilatih untuk tidak terbelenggu oleh harta karena memberi kepada orang lain merupakan latihan jiwa membuang sifat tamak, menanamkan kesadaran bahwa didalam harta miliknya ada hak orang lain yang harus ditunaikan. Harta pun menjadi suci karena terbebas dari apa yang bukan miliknya.
Menurut al Qur’an, di dalam harta si kaya terkandung hak-hak orang lain, yang meminta dan yang tidak berani meminta. wa fi amwalihim haqqun li as saili wa al mahrum. Jadi zakat memang milik mustahiq yang harus dibayarkan, jika tidak dibayarkan maka berarti si kaya menahan hak-hak orang miskin yang berhak, dan perbuatan itu searti dengan korupsi. Zakat juga mengandung arti tumbuh, yakni bahwa harta yang dizakati akan tumbuh berkembang secara sehat seperti pohon yang rindang, indah dipandang mata, bisa untuk berteduh orang banyak dan buahnya bermanfaat.
Zakat merupakan rukun Islam yang wajib dilaksanakan. Prinsip dasar syariat Islam adalah memperkecil beban, oleh karena itu zakat bersifat ringan, hanya 2,5 % (zakat niaga/kekayaan), 5 % (zakat produksi pertanian padat modal) , 10 % (zakat produksi pertanian tadah hujan dan 20 % (zakat barang temuan atau rejeki nomplok). Zakat dipusatkan pada membayar, bukan pada menerima, oleh karena itu zakat lebih merupakan shok terapi bagi pemilik harta agar tidak serakah memonopoli kekayaan. Zakat tidak relefan dengan pengentasan kemiskinan karena jumlahnya yang sangat sedikit. Oleh karena itu sebagaimana disamping salat wajib juga dianjurkan salat sunnat yang bermacam-macam dan jauh lebih banyak dibanding salat wajib, maka disamping kewajiban berzakat, pemilik harta dianjurkan untuk memberi sedekah dan infaq. Shadaqah adalah pemberian yang diberikan kepada fakir miskin dengan niat ibadah. Fakir adalah orang yang tidak memiliki pekerjaan dan tidak pula memiliki harta untuk membiayai hidupnya, sedangkan orang miskin adalah orang yang memiliki pekerjaan tetapi hasilnya tidak mencukupi untuk membiayai hidupnya secara “pantas”. Jika zakat hanya diwajibkan kepada orang kaya, sadaqah bukan saja dianjurkan kepada orang kaya tetapi juga dianjurkan kepada orang miskin. Jika zakat ditentukan obyeknya, tarifnya dan mustahiqnya, maka sedekah tidak dibatasi jumlahnya, boleh 1 % dari hartanya, boleh 10 %, boleh 50 % dan bahkan boleh menyedekahkan hartanya secara keseluruhan.
Adapun infaq adalah pemberian yang ditentukan jumlahnya untuk kepentingan tertentu, misalnya infaq untuk membangun jalan, membangun sekolah, membangun masjid dan sebagainya. Dalam keadaan sulit pada zaman Rasul, Usman bin Affan sebagai orang kaya menyerahkan 50 % hartanya untuk infaq dan sadaqah, sementara Abu Bakar Siddiq sebagai orang miskin menyerahkan 100 % harta miliknya untuk infaq dan sedeqah.
Karakter dan Temperamen
Ada perilaku yang bersumber dari karakter seseorang, tapi ada juga perilaku yang bersumber dari temperamennya. Apa bedanya? Temperamen merupakan corak reaksi seseorang terhadap berbagai rangsangan yang berasal dari lingkungan dan dari dalam diri sendiri. Temperamen berhubungan erat dengan kondisi biopsikologi seseorang, oleh karena itu sulit untuk diubah dan bersifat netral terhadap penilaian baik buruk. Sedangkan karakter berkaitan erat dengan penilaian baik buruknya tingkah laku seseorang didasari oleh bermacam-macam tolok ukur yang dianut masyarakat. Karakter terbentuk melalui perjalanan hidup seseorang, oleh karena itu ia dapat berubah. Jika temperamen tidak mengandung implikasi etis, maka karakter justeru selalu menjadi obyek penilaian etis.
Terkadang orang memiliki temperamen yang berbeda dengan karakternya. Ada orang yang temperamennya buruk, padahal karakternya baik. Jika temperamennya sedang bekerja maka pada umumnya bertingkah laku negatip, tetapi setelah reda nanti ia menyesali dan malu atas apa yang dilakukannya, meskipun nanti juga akan terulang kembali. Sedangkan orang yang karakternya buruk tetapi temperamennya baik, ia dapat menyembunyikan keburukannya dihadapan orang. Penipu biasanya memiliki temperamen yang baik tetapi karakternya buruk. Yang paling merepotkan adalah orang jahat yang temperamennya buruk. Karakter yang sudah menetap akan membentuk sebuah kepribadian. Menurut Freud, kepribadian manusia berdiri diatas tiga pilar, Id, Ego dan Super Ego, unsur hewani, akali dan moral. Perilaku menurut Freud merupakan interaksi dari ketiga pilar tersebut. Tetapi kesimpulan Freud manusia adalah Homo Volens, yakni makhluk berkeinginan yang tingkah lakunya dikendalikan oleh keinginan-keinginan yang terpendam di dalam alam bawah sadarnya, satu kesimpulan yang merendahkan martabat manusia.
Sedangkan dalam pandangan Islam, kepribadian merupakan interaksi dari kualitas-kualitas nafs, qalb, akal dan bashirah, interaksi antara jiwa, hati, akal dan hati nurani. Kepribadian, disamping bermodal kapasitas fitrah bawaan sejak lahir dari warisan genetika orang tuanya, ia terbentuk melalui proses panjang riwayat hidupnya, proses internalisasi nilai pengetahuan dan pengalaman dalam dirinya. Dalam perspektip ini maka keyakinan agama yang ia terima dari pengetahuan maupun dari pengalaman masuk dalam struktur kepribadian seseorang. Seorang muslim dengan kepribadian muslimnya yang prima, tidak bisa merasakan enaknya daging babi, meskipun dimasak dengan standar seleranya, seprti juga tidak bisa menikmati kekayaan hasil korupsi, sebagaimana juga ia selalu terjaga dari tidurnya yang nyenyak jika ia belum menjalankan salat Isya.
Sudah barang tentu kualitas kepribadian muslim setiap orang berbeda-beda. Kualitas kepribadian muslim juga tidak mesti konstan, terkadang kuat, utuh dan prima, tetapi di kala yang lain bisa saja terdistorsi oleh pengaruh di luar keyakinan agamanya.
Dasar-Dasar Perilaku
Tiap-tiap perbuatan manusia yang dilakukan secara sadar disebut sebagai kelakuan atau tingkahlaku (behavior). Berkata benar, perkataan dusta, perbuatan kebajikan, perbuatan kejahatan, adalah perbuatan yang bukan hanya bersifat lahir, tetapi mempunyai dasar-dasar di dalam jiwa. Makna senyuman tidak terletak di bibir tetapi terhunjam di dalam jiwa orang yang tersenyum itu. Demikian pula suatu pukulan tangan , maknanya tidak pada kerasnya pukulan, tetapi pada motif yang terkandung dalam perbuatan memukul itu. Untuk mengetahui makna tingkahlaku seseorang tidak cukup dengan melihat tingkahlaku yang nampak, tetapi harus menganalisis dasar-dasar yang menjadi sumber lahirnya tingkahlaku itu, yaitu jiwanya. Diantara hal-hal yang mendasari terjadinya tingkahlaku adalah sebagai berikut :
1. Instinct.
Instinct sering disebut juga dengan istilah naluri. Setiap manusia memiliki naluri sebagai sifat basyariah, dimana baik disadari maupun tidak, instinc mendorong lahirnya perilaku tertentu. Secara naluriah manusia akan merasakan haus jika di dalam tubuhnya kurang cairan, merasa lapar jika kekurangan makanan, merasa ngantuk jika tubuhnya lelah, dan merasa “ngebet” jika dorongan seksualnya tiba. Secara garis besar naluri manusia dapat digolongkan menjadi tiga bagian, yaitu :
(One) instinct menjaga diri agar tetap hidup. Dari instinct inilah maka manusia secara naluriah akan mencari tempat berteduh jika kehujanan atau kepanasan, makan atau minum jika kelaparan/kehausan. Dorongan ini pula yang terkadang membuat seseorang sanggup melakukan hal-hal yang tidak masuk akal, seperti maling yang fisiknya sangat kuat tega membunuh nenek-nenek tua renta yang memergokinya, atau nenek-nenek yang fisiknya sangat lemah tiba-tiba bisa membunuh perampok yang memperkosa cucunya di depan matanya.
(Two) . Instinct seksual. Manusia secara naluriah menyukai lawan jenisnya, ingin bercumbu memuaskan dahaganya, dan bahkan banyak orang melakukan suatu perbuatan seperti bekerja keras atau rajin belajar, secara tidak disadari sebenarnya di dorong oleh instinct ini, apa yang oleh Freud disebut libido.
(Three) . Instinct takut. Gemetar, lari atau terkencing-kencing ketika berjumpa dengan sesuatu yang menakutkan merupakan perilaku yang berdasar pada instinct ini. Semua perilaku naluriah, yang dalam pelaksanaanya tidak disertai kesadaran ikhtiar, kesadaran memilih alternatip, masuk dalam kategori tingkahlaku naluriah yang berada di luar hukum perbuatan baik buruk. Meski demikian naluri bisa diarahkan. Insticnt yang positip bisa ditumbuhkan semangatnya sehingga menjadi potensi positip, sedangkan insticnt yang berakibat buruk bisa dtekan melalui pengurangan kesempatan dan pengalihan perhatian.
2. Adat Kebiasaan
Perbuatan yang diulang-ulang dalam waktu lama oleh perorangan atau oleh kelompok masyarakat sehingga menjadi mudah mengerjakannya disebut adat kebiasaan. Sebenarnya sebagian besar tingkahlaku manusia terbentuk melalui pembiasaan. Cara berjalan, cara mengungkapkan kegembiraan, cara mengungkapkan kemarahan, cara berpakaian, cara berbicara dan sebagainya adalah wujud dari kebiasaan manusia. Bahkan rasa enak tidak enaknya suatu makanan (selera) juga terbentuk melalui kebiasaan makan.
Secara psikologis, adat kebiasaan itu merupakan penyesuaian otak dengan urat saraf. Segala hal yang dirasakan dan diperbuat oleh manusia berhubungan erat dengan urat syaraf dan otak. Sifat urat syaraf itu lentur dan menerima perobahan sepanjang sesuai dengan kodratnya. Ibarat selembar kertas, ketika dilipat pertama kali masih ada perlawanan, tetapi ketika lipatan itu diteruskan, maka lipatan itu mengubah atau menciptakan bentukan baru. Tetapi jika yang dilipat itu lembaran karet maka penolakannya akan terus menerus karena kodrat karet tidak menerima lipatan.
Manusia setiap kali berfikir dan berbuat, maka keduanya akan meninggalkan bekas di dalam jiwanya, menjelma dalam bentukan terbaru. Jika fikiran dan perbuatan itu diulang untuk yang kedua kali, maka ia lebih mudah karena urat syarafnya telah siap dan terbentuk menurut fikiran dan perbuatan itu. Jika fikiran dan perbuatan itu terus diulang-ulang-ulang dalam waktu yang lama, maka fikiran dan perbuatan itu akan mengalir seperti air yang mencari celah saluran rendah. Orang yang terbiasa duduk dengan menempatkan kaki di meja, maka ia akan mudah sekali mengulanginya meski di tempat yang semestinya tidak boleh begitu.
Menghafal Al Qur’anpun sebenarnya merupakan adat kebiasaan. Orang yang sudah hafal ayat al Qur’an, seluruhnya atau sebagian, membaca al Qur’an itu bagaikan aliran air yang mengalir, tanpa harus repot-repot berfikir atau mengingat urutannya. Sepanjang syarafnya tidak dirusak oleh bentukan lain yang bertentangan maka hafalan itu akan terus terpelihara. Dalam perspektip ini maka orang tidak bisa menghafal al Qur’an bersama-sama dengan membiasakan berbuat maksiat, karena dua bentukan dalam urat syaraf itu bertentangan.
Kebiasaan bisa dibentuk tetapi tidak semua perbuatan bisa dijadikan kebiasaan. Suatu fikiran atau perbuatan dapat dibentuk menjadi adat kebiasaan apa bila memenuhi syarat-syaratnya :
(a). Perbuatan yang diulang-ulang itu menyenangkan. Orang sakit meski ia berulang-ulang meminum obat tidak akan tertanam dalam urat syaraftnya kesukaan meminum obat, meski obat itu berguna, karena obat itu pahit tidak menyenangkan. Sebaliknya merokok, meski tidak menyehatkan, bahkan berpotensi merangsang datangnya penyakit, tetapi karena mengandung unsur menyenangkan maka ia dapat menjadi adat kebiasaan. Anak yang mempunyai hobbi belajar, perbuatan membaca buku dalam waktu tertentu secara reguler akan meningkat menjadi adat kebiasaan membaca hingga akhir hayat. Tetapi bagi murid yang malas, karena ia tidak mencintai ilmu, maka jadwal belajar ketika menjadi murid sekolah tidak membekas menjadi bentuk adat kebiasaan belajar.
(b). Memberi kemudahan kepada perbuatan yang dibiasakan. Belajar bahasa Inggris atau bahasa asing lainnya pada mulanya adalah susah dan malas, tetapi ketika diulang-ulang terasa menjadikannya lebih mudah, maka lama-kelamaan berbicara bahasa asing itu menjadi adat kebiasaan yang menyenangkan karena mudah.
(c). Menghemat waktu. Ketika mula pertama belajar menulis, orang membutuhkan waktu yang lama untuk menulis satu halaman. Ketika kebiasaan menulis sudah berlangsung lama maka orang dapat menulis puluhan atau bahkan ratusan halaman dalam waktu singkat. Penggunaan tangan kanan dan kiri sebenarnya juga berhubungan dengan kebiasaan. Orang yang terbiasa menggunakan tangan kanannya untuk melakukan sesuatu, tetapi kemudian kehilangan tangan kanannya karena kecelakaan, maka tangan kiripun akhirnya efektip untuk menyelesaikan pekerjaan- yang selama ini dikerjakan oleh tangan kanan.
3. KETURUNAN
Teori tabularasa memandang manusia bagaikan kertas putih yang bisa ditulisi apa saja. Manusia menjadi apa tergantung pengalaman yang tergores pada kertas jiwanya, atau seperti yang dikatakan oleh aliran Behaviourisme bahwa manusia sepenuhnya tunduk kepada lingkungan. Teori lain memandang bahwa manusia mewarisi genetika orang tuanya, oleh karena itu faktor keturunan sangat signifikan dalam membentuknya menjadi siapa. Di lingkungan ilmu pendidikan , baik faktor hereditas atau keturunan maupun faktor miliu atau lingkungan, keduanya diakui mempunyai pengaruh dalam membentuk perilaku manusia. Hanya saja, faktor mana yang dominan, faktor hereditas atau miliu, tidak ada kesepakatan pendapat. Psikologi mutakhir cenderung berpendapat bahwa faktor hereditas lebih dominan pengaruhnya dibanding miliu
Dalam pandangan Islam, kedua hal itu juga diakui. Pertama diakui bahwa setiap bayi lahir ia dilahirkan dalam keadaan fitrah, suci bersih, kullu mauludin yuladu `ala al fithrah, kata hadis Nabi. Hadis Nabi ini mengisyaratkan kuatnya pengaruh lingkungan terhadap pembentukan perilaku manusia. Tetapi hadis yang lain mengingatkan pentingnya faktor keturunan (nasab). Dalam hadis tersebut bahkan secara tegas dikatakan bahwa kualitas manusia itu menurun, Takhoyyaru li nuthofikum fainna al `iroqo dassas, artinya : Pilihlah sperma calon anak cucumu, karena darah (genetika) itu menurun. Tradisi Jawa juga menganggap penting faktor bibit bebet bobot dalam memilih calon ibu/bapak dari anak-anak, yang bermakna bahwa genetika orang tua itu menurun kepada anaknya. Meski demikian, Al Qur’an memberikan contoh yang seimbang agar orang tidak terlalu bangga atau menyombongkan faktor keturunan, misalnya seperti yang disebut dalam Al Qur’an bahwa Anak Nabi Nuh, Kan’an ternyata kafir, dan Ibrahim yang anak tokoh kafir justeru menjadi Nabi besar.
4. LINGKUNGAN
Pada era informasi sekarang ini kuatnya pengaruh ligkungan terhadap pembentukan perilaku manusia diakui oleh semua orang. Dunia pendidikan mengenal tiga lingkaran pendidikan, yaitu rumah tangga, sekolah dan lingkungan masyarakat. Bagi anak yang lingkungan keluarganya tidak sehat, maka sepenuhnya anak itu akan dibentuk oleh lingkungan masyarakatnya dibanding oleh sekolahnya. Sebuah penelitian menunjukkan bahwa , 83% perilaku manusia, dipengaruhi oleh apa yang dilihat, 11% oleh apa yang didengar dan sisanya oleh berbagai stimulus campuran.[1] Dari penilitian ini dapat difahami bahwa perilaku anak-anak dan remaja akan lebih terbentuk oleh televisi dan realitas perilaku masyarakat dibanding oleh nasehat orang tua atau gurunya, apa lagi jika nasehat itu bertentangan dengan apa yang dilihat dalam kenyataan masyarakat luas. Hanya anak-anak yang sejak dini telah dapat dibentuk perilakunya melalui pendidikan keluarga, yang dapat selectip menyerap pengaruh lingkungan.
Sebagian ulama memandang bahwa pembentukan perilaku manusia itu cukuplah hingga anak itu mencapai usia baligh (sekitar usia 15 tahun). Setelah itu biarlah ia merespond sendiri terhadap lingkungan, sementara masyarakat umum dewasa ini justeru banyak yang mengeluh tentang perilaku anaknya yang menginjak remaja (15-18). Pandangan ulama itu merujuk pada pendidikan konservatip keluarga yang justeru sangat efektip dalam membentuk perilaku. Pendidikan ini dimulai justeru sejak anak dalam kandungan (pra natalia education). Ketika bayi dalam kandungan, psikologi ibunya dijaga ketat agar jangan mengalami kesedihan, dan dijaga dari mengkonsumsi barang yang tidak halal, sementara ayahnya banyak berdoa kepada Tuhan dan melakukan kebaikan yang diniatkan supaya menurun menjadi kelakuan anaknya yang masih dalam kandungan. Setelah lahir, bayi yang dalam keadaan fitrah itu langsung dididik spiritualnya dengan aqidah, yakni dengan diazani. Seanjutnya sejak bayi hingga remaja, anak itu dibentuk secara ketat oleh lingkungan keluarga, dengan menghadirkan secara optimal fungsi psikologis ibu sebagai garba kasih sayang (rahim) dan fungsi psikologis ayah sebagai idola yang mumpuni (gagah, hebat, serba bisa). Jika seorang anak beruntung memperoleh pembentukan peribadi dalam keluarga seperti itu maka pada usia akil baligh ia sudah siap berjalan sendiri menjelajahi lingkungan masyarakat luas tanpa takut larut di dalamnya (dengan merantau/sekolah jauh dari orang tua), karena benteng perilaku yang terbentuk dalam pendidikana keluarga itu akan dengan sendirinya menolak pengaruh lingkungan yang negatip. Dalam perantauan jauh dari pengawasan orang tua itu sang anak tetap merasa diayomi oleh kelembutan kasih sayang ibunya dan tetap merasa dipacu menggapai cita-cita oleh keidolaan ayahnya.
Jadi lingkungan yang sangat efektip membentuk perilaku manusia adalah lingkungan psikologis, sementara lingkungan fisik sangat besar pengaruhnya pada anak yang kurang memperoleh pendidikan keluarga.
5. MOTIVASI
Setiap manusia yang normal, setiap kali mengerjakan suatu perbuatan pasti dibalik perbuatan itu ada tujuan yang ingin dicapai. Tidak ada orang yang melakukan suatu pekerjaan jika tidak ada tujuan yang ingin dicapai dengan perbuatan itu. Pekerjaan sama yang dikerjakan oleh banyak orang belum tentu bertujuan sama. Orang bisa berbeda-beda dalam sebagian tujuan yang ingin dicapai, tetapi mereka mungkin sepakat pada tujuan yang lain. Tujuan-tujuan itu terkadang hanya bersifat pemuasan kebutuhan biologis, terkadang pemuasan kebutuhan psikologis, atau bisa juga untuk pencapaian nilai-nilai tertentu sesuai dengan pekerjaan yang dilakukannya.
Tingkahlaku manusia tak mudah difahami tanpa mengetahui kira-kira apa yang mendorongnya melakukan perbuatan tersebut. Manusia bukan boneka yang digerakkan dari luar dirinya, tetapi di dalam dirinya ada kekuatan yang menggerakkan sehingga seseorang mengerjakan suatu perbuatan tertentu. Faktor-faktor yang menggerakkan tingkahlaku manusia itulah yang dalam ilmu jiwa disebut sebagai motif. Motif (motive) yang berasal dari kata motion yang berarti gerakan atau sesuatu yang bergerak menurut istilah psikologi mengandung pengertian penyebab yang diduga untuk suatu tindakan; suatu aktifitas yang sedang berkembang; dan suatu kebutuhan.1 Dalam bahasa Arab, motif atau faktor-faktor penggerak tingkahlaku itu disebut الدّوافع النّفسيّة. yang artinya dorongan-dorongan yang bersifat psikologis.2
Buku-buku Psikologi penuh dengan pembicaraan tentang pembagian motif.Sebagian pakar psikologi berbicara tentang motif utama yang bersembunyi di balik aktifitas seseorang, sebagian berbicara tentang motif untuk aktualisasi diri, sebagian lagi berbicara tentang motif pemeliharaan diri dan yang lain menyebut motif penghargaan diri. Ada juga pakar psikologi yang membagi motif menjadi dua kelompok, yaitu motif primer dan motif sekunder.3
Yang dimaksud dengan motif primer adalah motif yang berkaitan dengan struktur organik tubuh manusia, seperti motif kepada udara, kepada gerakan, kepada makanan minuman dimana terdapat sejumlah motif yang mendorong seseorang untuk mencari jenis-jenis makanan. Para ahli juga menempatkan motif seksual dalam kelompok motif primer. Motif primer ini bersifat naluriah, tidak dipelajari atau diperoleh seseorang, tetapi diciptakan bersama dengan penciptaan awal (fitrah) manusia, sehingga motif primer juga disebut motif fitri.4
Sedangkan motif sekunder adalah motif yang sampai sekarang belum dipastikan hubungannya dengan struktur organik, tetapi ia dibatasi oleh jenis aktifitas seseorang. Berbeda dengan motif primer yang universal, motif-motif sekunder manusia berbeda-beda sesuai dengan budaya dimana mereka hidup dan jenis-jenis kegiatan apa yang dilakukan seseorang dalam hidupnya. Diantara motif sekunder antara lain motif persaingan, motif kejayaan, motif kebebasan, motif kerjasama, motif untuk masuk ke dalam suatu golongan dan sebagainya.. Disamping pembagian dikotomis primer sekunder, ada pakar psikologi yang membagi motif menjadi tiga kelompok, yaitu motif biologis, emosi dan nilai-nilai.5
a. Hubungan Motif Dengan Tujuan
Motif dapat disimpulkan sebagai keadaan psikologis yang merangsang dan memberi arah terhadap aktifitas manusia. Motif itulah kekuatan yang menggerakkan dan mendorong (faktor penggerak) aktifitas seseorang, yang membimbingnya kearah tujuan-tujuannya. Tujuan dan aktifitas seseorang selalu bekaitan dengan motif-motif yang menggerakkannya. Sedangkan tujuan adalah apa yang terdapat pada alam sekitar yang mengelilingi seseorang, yang pencapaiannya membawa kepada pemuasan motif tertentu. Air adalah tujuan orang haus, makanan adalah t ujuan orang lapar. Gengsi adalah tujuan dari orang yang membutuhkan harga diri. Jadi motiv bekerja adakalanya untuk pemuasan kebutuhan fisik seperti lapar, haus, lelah atau pemuasan seksual, selanjutnyaoleh para ahli psikologi disebut motiv primer. Motif adakalanya bekerja juga untuk memenuhi pemuasan kebutuhan sosial yang muncul dalam bentuk kecenderungan atau kesenangan tertentu, seperti cinta diri atau ingin memiliki supremasi dan dominasi atau untuk mempertahankan kedudukan sosialnya dan sebagainya, selanjutnya disebut motif sekunder. Dari sini jelaslah bahwa tujuan berkaitan erat dengan motif.
Disamping istilah motiv, dikenal pula istilah motivasi. Motivasi merupakan istilah yang lebih umum, yang menunjuk kepada seluruh proses gerakan yang melahirkan tingkah laku, termasuk situasi yang mendorong, dorongan yang timbul dalam diri individu, tingkah laku yang ditimbulkan oleh situasi tersebut dan tujuan atau akhir dari perbuatan yang dilakukan. Dalam Kamus Psikologi disebutkan bahwa motivasi (motivation) adalah perangsang, baik intrinsik maupun ektrinsik yang memprakarsai dan mendukung sikap aktivitas yang ada; suatu konsep yang kompleks dan dwi fungsi untuk menunjukkan (biasanya) tingkah laku yang didorong ke arah tujuan.6
Pengetahuan tentang motif dari perbuatan manusia sangat penting untuk memahami tingkahlaku mereka, karena satu perbuatan yang dilakukan oleh dua orang belum tentu satu makna.
b. Fungsi Penggerak Tingkah laku
Manusia ketika melakukan suatu perbuatan, disadari atau tidak oleh yang bersangkutan, sebenarnya apa yang dilakukan itu digerakkaan oleh suatu sistem di dalam dirinya, yakni oleh sistem nafsani. Disamping mampu memahami dan merasa, sistem nafs juga mendorong manusia untuk melakukan sesuatu yang dibutuhkan. Jika penggerak tingkahlaku atau motif kepada sesuatu itu telah mulai bekerja secara kuat pada seseorang, maka ia mendominasi orang itu dan mendorongnya melakukan suatu perbuatan. Ketika motif kepada sesuatu itu bekerja pada puncaknya, ketika itu orang tidak lagi bebas untuk mengarahkan atau mengendalikan tingkahlakunya, karena ia harus memenuhi tuntutan motif itu dalam memperoleh pemuasannya. Dalam keadaan seperti ini seseorang seperti didesak untuk secepatnya mencapai tujuannya tanpa mempedulikan resiko atau akibat samping dari perbuatannya. Dalam merespon dorongan dari dalam dirinya itu manusia ada yang sanggup mengendalikannya secara semestinya sehingga motifnya memperoleh pemuasan terpenuhi, tetapi tingkahlakunya tetap dapat dipertanggungjawabkan. Di sisi lain ada orang yang tidak mampu mengendalikan dorongan-dorongan itu sehingga hal itu dapat menghilangkan keseimbangan kepribadian, atau menimbulkan keguncangan dan juga membuat seseorang tidak mampu melihat masalah secara teliti
Motivasi untuk melakukan sesuatu bisa disebabkan oleh hal-hal yang berbeda, antara lain :
(1) Karena keyakinan. Keyakinan seseorang yang memotivisirnya untuk melakukan sesuatu bisa disebabkan berdasarkan pengalaman hidupnya, bisa juga karena pengetahuan baru yang diperoleh melalui buku atau pengalaman orang lain.
(2) Karena terbawa. Keputusan seseorang untuk bekerja di luar negeri, untuk ikut demontrasi, untuk mendukung partai tententu, bisa saja motivasinya hanya karena terbawa oleh orang lain yang juga mengerjakan hal yang sama. Biasanya orang yang mudah terbawa adalah orang yang rendah kredibilitasnya, atau orang yang sedang dalam keadaan tidak memiliki kedudukan sosial di lingkungannya.
(3) Karena terpedaya atau terpesona. Orang yang sedang dalam keadaan lemah mental, atau orang yang sangat ambisius sering dapat diperdaya untuk melakukan hal-hal yang secara jelas tidak masuk akal. Orang yang terlalu lama menganggur misalnya ia dapat menjual rumahnya dan uangnya diserahkan kepada seseorang yang menjanjikan untuk dapat mengirim bekerja di luar negeri, padahal ia belum kenal dengan orang tersebut.
(4) Karena asal berbuat. Orang yang sedang dalam keadaan stress mental terkadang melakukan sesuatu tanpa ada motivasi kecuali hanya sekedar berbuat.
6. Keinsafan
Menurut informasi, Laksamana Soedomo, mantan Pangkopkamtib pada hari tuanya sangat rajin beribadah dan bahkan setiap pagi sebelum waktu subuh tiba beliau selalu sudah lebih dahulu berada di masjid, mendahului jamaah lain yang rumahnya lebih dekat dengan masjid itu. Ketika Soedomo dikhabarkan masuk Islam (kembali) banyak orang mencibir sinis, karena beliau sebelumnya dikenal sebagai Jenderal Kristen yang pada era Soeharto banyak menindas aktifis Islam. Menurut hemat penulis, Sudomo sungguh memeluk Islam, dan sungguh-sungguh pula dalam hal rajin beribadah di hari tuanya. Mengapa demikian ? Sejarah panjang hidupnya, jatuh bangunnya, perasaan besar dan kecilnya, perasaan tersanjung dan terhempas yang ada dalam dirinya telah mengantarkannya pada keinsyafan yang sebenarnya. Keinsyafan sifatnya sangat indifidual, oleh karena itu hanya Pak Sudomo sendiri yang menghayati keinsyafan beliau. Keinsyafan merupakan dasar yang sangat kokoh bagi seseorang untuk melakukan sesuatu atau mengubah perilaku sebelumnya, sampai pada tingkat tidak peduli kepada penilaian atau cibiran orang lain, karena keinsyafan itu sendiri telah memberikan kemantapan hati untuk memilih jalan yang ia yakini.
Keinsyafan itu merupakan akumulasi dari kalkuklasi psikologis yang berhubungan dengan ketajaman hati nurani, atau kuatnya cita-cita dan kehendak.
(a). Ketajaman hati Nurani
Bahasa Indonesia mengenal istilah hati nurani atau kata hati atau hati kecil untuk menyebut kejujuran seseorang atas diri sendiri. Kata nurani diduga berasal dari bahasa Arab nur ( نور ) yang artinya cahaya, dan نورانيّ (nuraniyyun) artinya sebangsa cahaya atau yang bersifat cahaya, sehingga hati nurani dapat disebut sebagai cahaya hati atau lubuk hati yang terdalam. Dalam bahasa Arab, hati nurani dalam pengertian tersebut diatas disebut basirah (بصيرة) yang berasal dari kata بصر - ابصر.
Dalam bahasa Arab, بصر berarti jendela hati, (نفاذ فى القلب) , jika disebut بصر القلب artinya pandangan dan lintasan hati. Sedangkan kata البصـير jika dihubungkan dengan nama Tuhan الأسـمآء الحـسنى , maka artinya Allah mampu melihat sesuatu secara total, yang nampak maupun yang tidak tampak tanpa memerlukan alat.123 Jika dihubungkan dengan manusia, maka بصيرة mempunyai empat arti, yaitu (a) ketajaman hati,(قوّة القلب المدركة) (b) kecerdasan, (c) kemantapan dalam agama, dan (d) keyakinan hati dalam hal agama dan realita. Meskipun بصر juga mengandung arti melihat, tetapi jarang sekali kalimat tersebut digunakan dalam literatur Arab untuk indra penglihatan tanpa disertai pandangan hati.124 Dengan demikian maka hati nurani dapat difahami sebagai pandangan mata hati sebagai lawan dari pandangan mata kepala.
Basirah dalam arti hati nurani diisyaratkan dalam surat al Qiyamah 14-15 :
بل الانسـان على نفـسه بصيرة ولو ألقى معاذيرة القيامة 14-15
artinya : Bahkan manusia itu mampu melihat diri sendiri, meskipun dia masih mengemukakan alasan- alasanya. (Q/75:14-15)
Sebagian mufassir, antara lain al Farra , Ibn Abbas, Muqatil dan Said bin Jabir menafsirkan basirah pada ayat ini sebagai mata batin, (عين بصيرة),125 seperti yang dikutip oleh al Maraghi, dan Fakhr al Razi menafsirkannya dengan العقل السّليم, akal sehat.126 Menurut Ibn Qayim al Jauzi, basirah adalah cahaya yang ditiupkan Allah ke dalam hati atau qalb (نور يقذفه الله فى القلب), oleh karena itu ia mampu memandang hakikat kebenaran seperti pandangan mata.127
Jika dihubungkan dengan sistem nafs manusia, maka arti basirah yang tepat adalah seperti yang dikeluarkan oleh al Farra dan Fakhr ar Razi, yaitu mata batin atau akal sehat. Akal yang sehat jika digunakan secara optimum memungkinkannya mencapai kebenaran karena ia memiliki kekuatan yang sekuat pandangan mata batin, dan عين بصيرة itu akan muncul secara optimal pada orang yang memiliki العقل السّـليم .
Jika dibandingkan dengan qalb, maka hati nurani memiliki pandangan yang lebih tajam dan konsisten. Pada surat al Qiyamah/75: 14-15 diatas disebutkan bahwa basirah itu tetap bekerja melihat meskipun manusia masih mengemukakan alasan-alasannya. Ayat ini sebenarnya juga mengisaratkan karakter qalb yang tidak konsisten, yang meski tahu kebenaran tetapi masih berusaha mengelak dengan mengemukakan alasan-alasan (معاذير). Jadi hati nurani (بصيرة) tetap jujur dan konsisten meskipun hati (قلب) manusia masih berusaha untuk menutup nutupi kesalahannya atau berdalih dengan alasan-alasan. Kekuatan konsistensi basirah adalah sangat wajar, karena, seperti yang dikatakan oleh Ibn al Qayyim al Jauzi bahwa basīrah itu adalah nūr Allah yang ditiupkan ke dalam qalb.
Basirah atau hati nurani bukan hanya diperlukan untuk instrospeksi, tetapi juga untuk secara jujur memahami dan mengakui kebenaran agama. Dalam surat Yusuf 108 disebutkan :
قل هذه سـبيلى أدعو الى الله على بصيرة أنا ومن اتّبعنى…….يوسف 108
artinya : Katakanlah, inilah jalan (agama)ku, aku dan orang orang yang mengikutiku, mengajak kamu kepada Allah dengan hujjah yang nyata ( bashirah). (Q/12:108).
Ibn Kasir menafsirkan basirah dalam ayat ini dengan mengatakan bahwa kebenaran agama Allah ini merupakan keyakinan yang bisa diuji dengan basirah, baik dengan pendekatan syar’iy maupun ‘aqly128
Dari keterangan Al Qur’an menyangkut nafs maka struktur basirah dalam sistem nafs dapat diilustrasikan sebagai berikut; Manusia memiliki dimensi ruhani yang terdiri dari nafs, aql, qalb, ruh dan basirah. Nafs diibaratkan sebagai ruangan yang sangat luas dalam alam ruhani manusia. Dari dalam nafs itulah manusia digerakkan untuk menangkap fenomena yang dijumpai, menganalisanya dan mengambil keputusan. Kerja nafs dilakukan melalui jaringan qalb, aql, dan basirah , tetapi kesemuanya itu baru berfungsi manakala ruh berada dalam jasad dan fungsi kejiwaan telah sempurna.
Qalb merupakan bagian dalam nafs yang bekerja memahami, mengolah, menampung realita sekelilingnya dan memutuskan sesuatu. Sesuai dengan potensinya maka qalb merupakan kekuatan yang sangat dinamis, tetapi ia temperamental, fluktuatip, emosional dan pasang surut. Untuk memecahkan masalah-masalah yang dihadapi, qalb bekerja dengan jaringan akal, tetapi kondisi qalb dan akal terkadang tidak optimal sehingga masih dimungkinkan terkontaminasi oleh pengaruh syahwat , atau oleh motiv kepada hal-hal yang bersifat negatip, dan dalam keadaan demikian, ‘aql dan qalb dapat melakukan helah mental, yakni memandang sesuatu yang salah, dengan alasan-alasan (معاذير) yang dibuatnya, seakan-akan yang salah itu wajar. Basirah bekerja mengkoreksi penyimpangan yang dilakukan oleh qalb dan ‘aql . Dapat juga disebut bahwa kondisi qalb dan ‘aql yang tingkat kesehatannya optimum itulah yang disebut hati nurani atau basirah.
Orang yang hati nuraninya berfungsi dengan baik maka ia dapat secara jernih melakukan introspeksi, melakukan kalkulasi psikologis atas semua yang pernah dilakukan dan dialami, mana yang menjadi tanggungjawab dirinya, apa yang harus ditebus, apa yang harus ditutup, apa yang harus diterima secara ikhlas, semuanya mengkristal menjadi satu keinsyafan, dan dari keinsyafan itulah ia melakukan sesuatu yang dipandangnya paling baik bagi dirinya. Sebaliknya orang yang hati nuraninya gelap, ia tak juga insyaf meskipun sudah berkali-kali jatuh dan bahkan tak melihat harapan masa depan.
(b). Cita-Cita
Cita-cita adalah gambaran dalam fikiran tentang apa yang ingin dicapai dalam hidup. Setiap manusia pasti memiliki keinginan memiliki sesuatu, atau menjadi apa atau menjadi siapa dalam hidupnya. Jauh sebelum keinginannya tercapai terlebih dahulu orang menggambarkan dalam fikirannya apa dan siapa yang ingin digapai, misalnya gambaran tentang negeri yang ingin dituju, rumah yang ingin ia tinggal disana, status sosial yang didambakan dan seterusnya.
Cita-cita merupakan implementasi dari kapasitas berfikir manusia, dan ia menjadi pembeda antara manusia dengan hewan. Sejak dahulu pola hidup hewan tidak berubah karena hewan tidak berfikir, tidak bercita-cita dan tidak mengupayakan adanya perubahan. Sedangkan manusia karena ia berfikir maka selalu terangsang untuk memperoleh yang lebih baik, membuang yang lama yang tidak memenuhi cita rasanya dan mengupayakan hal baru yang dapat memuaskan jiwanya. Dalam perspektip ini maka cita-cita manusia hampir tidak pernah sama, karena cita-cita seseorang sangat bergantung kepada kapasitas dan corak jiwanya. Seorang pendidik mempunyai cita-cita yang sejalan dengan kecenderungannya pada dunia pendidikan. Seorang pelaku ekonomi bercita-cita menguasai aset ekonomi, politikus bercita-cita menjadi penguasa, failasuf bercita-cita meninggikan kecerdasan masyarakat, seniman bercitacita membuat karya seni yang memuaskan dahaga seninya dan seterusnya. Hewan karena tidak bercita-cita maka pola tingkahlakunya tidak berubah, sedangkan manusia pola tingkahlakunya justeru dipengaruhi oleh jenis dan tingkat cita-citanya. Orang yang bercita-cita menjadi pemimpin pasti rajin belajar dan aktip dalam kegiatan. Orang yang cita-citanya memajukan masyarakat pasti ia tertarik mengamati perilaku masyarakat, potensi positip dan potensi negatipnya. Orang yang bercita-cita menjadi ilmuwan pasti menyukai buku..
(1) Membangun cita-cita.
Orang sering tidak menyadari dari mana datangnya cita-cita itu dan kapan mulai tumbuhnya, karena cita-cita tumbuh bersamaan dengan proses kehidupan yang berkesinambungan dimana ia terterlibat langsung. Ada orang yang sejak awal sudah bercita-cita tinggi, ingin menjadi presiden misalnya, tetapi ada juga orang yang cita-citanya berjalan secara estapet, bermula menjadi lurah, kemudian bercita-cita menjadi camat, setalah berhasil, bercita-cita menjadi bupati, begitulah seterusnya. Meski demikian dapat diketahui lembaga apa yang secara efektip menumbuhkan cita-cita bagi setiap manusia, yaitu (a) rumah, (b) sekolah dan © agama.
Rumah tangga yang efektip dalam memberikan pendidikan kepada anak dimana ibu menjadi tumpuan kasih sayang dan ayah menjadi idola akan sangat besar perannya dalam membentuk cita-cita seorang anak. Elusan kasih sayang ibu akan menanamkan jalur-jalur perasaan halus yang memunculkan cita-cita sosok kasih sayang, misalnya ingin menjadi perawat, menjadi guru, menjadi dokter, menjadi pekerja sosial, menjadi sosok sinterklas dan sosok lainnya yang berhubungan dengan kehalusan perasaan terhadap sesama manusia. Sementara itu sosok ayah hebat yang menjadi idola akan menumbuhkan cita-cita menjadi sosok kehebatan, misalnya menjadi jagoan, menjadi pahlawan, menjadi presiden, menjadi jenderal, menjadi juara nomor satu dan sebagainya yang melambangkan kehebatan. Bagaimana kontribusi ayah ibu - ditambah lagi dengan kakek nenek, paman bibi dan tetangga dekat kepada alam fikiran anak akan mengantarkan pada gambaran spesifik yang ingin dicapai dalam hidupnya, misalnya menjadi guru tetapi ahli silat, menjadi orang kaya tetapi lembut, menjadi polisi yang jujur, menjadi pengusaha yang alim dan sebagainya.
Sekolah dimana di dalamnya murid memperoleh pengetahuan luas membuatnya mampu berimajinasi, berfikir dengan dimensi luas, dan banyak alternatip . Sekolah dapat membuka ufuk yang luas, langit yang lebih tinggi dan contoh idola yang bisa diidentifikasi. Sekolah memperkenalkan murid kepada tokoh sejarah, kepada hukum sejarah, kepada pengalaman sejarah orang lain, disamping menguak rahasia alam. Dari sekolahlah seseorang bisa memilih jurusan, memilih profesi, memilih teman, memilih karir yang dipandu oleh gambaran skema apa yang ingin ia lalui dan apa yang ingin dicapai.
Agama, bagi orang yang memeluknya secara benar akan berfungsi memperdalam perasaan, memperkuat keyakinan dan keteguhan sikap, serta memperluas orientasi, bukan hanya hubungan horizontal di dunia, tetapi hubungan vertikal dunia akhirat. Keyakinan agama memberikan kekuatan luar biasa bagi orang yang patuh ketika ia harus menghadapi pilihan yang sulit, antara menjadi kaya tidak terhormat dengan miskin terhormat, antara mengorbankan orang lain dan mengorbankan diri sendiri, bahkan antara hidup dan mati. Dalam perspektip ini agama dapat mewarnai cita-cita menjadi lebih halus dan indah, dan dapat mendorongnya pada cita-cita yang ektrim ketinggian nilainya.
(c). Kehendak
Orang sering keliru tidak membedakan antara keinginan dan kehendak, padahal kedua istilah itu berbeda makna. Kehendak dan keinginan tak selamanya sejalan, bahkan bisa bertentangan. Hampir semua orang memiliki kehendak untuk sehat, tetapi banyak diantara mereka yang tidak bisa menahan keinginan yang justeru merusak kesehatan, misalnya merokok atau minuman keras. Dalam bahasa Arab, keinginan disebut dengan raghbah, raghiba ila, sementara kehendak disebut dengan kata `azam. Sebagai ilustrasi dapat digambarkan sebagai berikut:
Pertama, : ada orang miskin , ia merasa menderita karena kemiskinanya, kurang makan, kurang pakaian dan kurang layak tempat tinggalnya.
Kedua : Perasaan tidak nyaman sebagai orang miskin itu membuatnya membayangkan makan enak, pakaian bagus, kendaraan bagus dan tidur di kasur yang empuk. Apa yang dibayangkan itu adalah keinginan, belum menjadi kehendak. Keinginan seseorang mengikuti alam hidupnya, atau sesuai dengan tinggi rendah langitnya, atau tingkat jiwanya. Jika yang kelaparan itu orang yang “langitnya rendah” maka keinginannya hanyalah kepada makanan. Tetapi jika yang kelaparan itu orang yang “tinggi langitnya” maka yang ia inginkan adalah meningkatkan mutu pertanian masyarakat, atau ingin menolong orang lain yang juga sedang kelaparan.. Keinginan manusia atau alam keinginan manusia itu tidak tetap, tetapi berubah-ubah, dan bahkan terkadang terjadi pertentangan antara keinginan terhadap satu hal dengan keinginan terhadap hal lain.
Ketiga : Pertentangan antara keinginan yang satu dengan keinginan yang lain menyebabkan seseorang untuk membuat pertimbangan, keinginan apa yang harus didahulukan. Keinginan yang menang adalah keinginan yang mempunyai pijakan “alam keinginan” yang lebih luas. Keinginan yang menang itulah yang dalam bahasa Arab disebut raghbah.
Keempat : Setelah keinginan itu menjadi kuat karena telah melampaui proses pertimbangan, maka timbullah kehendak, atau yang dalam bahasa Arab disebut `azam. Jadi perbuatan yang bersumber dari kehendak didalamnya sudah terkandung perasaan, keinginan, pertimbangan dan kehendak.
Kehendak belum tentu langsung diikuti dengan perbuatan. Bisa terjadi seseorang yang telah memeiliki kehendak yang kuat terhadap sesuatu, tetapi terlebih dahulu ia harus melakukan hal-hal yang justeru tidak ia kehendaki, tetapi kehendak tetap merupakan kekuatan yang besar dalam mendorong perilaku tertentu sesuai dengan kehendaknya. Kehendak bisa berfungsi mendorong untuk melakukan sesuatu atau mencegah dari mengerjakan sesuatu. Contoh kekuatan kehendak adalah pada orang yang bertekad mencapai suatu tujuan tetapi hambatannya sangat besar, maka ia akan berkata, lautan akan kuseberangi, gunungpun akan kulewati, atau seperti yang dikatakan oleh orang Jawa : malang-malang putung rawe rawe rantas, artinya tidak ada hal yang boleh menghalangi kehendaknya, semuanya akan dihadapi. Kehendak yang kuat akan menyebabkan seseorang mampu memobilisir kekuatan se optimal mungkin, sementara lemahnya kehendak membuat seseorang cepat menyerah kepada keadaan. Bagi orang beragama, kuat tidaknya kehendak berhubungan dengan teologi yang dianut. Jika seorang muslim menganut teologi qadariyah atau free will, maka ia merasa tertantang untuk bisa mewujudkan kehendaknya karena ia merasa memiliki kebebasan berkehendak. Semntara jika seorang muslim menganut teologi jabbary atau predestination, maka kehendaknya kurang kuat karena merasa bahwa semuanya sudah diatur oleh Tuhan betapapun kuatnya usaha. Jika orang Qadary berkata bekerja sambil berdoa, maka orang Jabbary berkata berdoalah sambil bekerja.
Kehendak yang kuat akan menyebabkan seseorang sanggup melakukan koreksi diri, interospeksi, melakukan kalkulasi psikologis, atau menginsyafi apa yang telah dilakukan dan apa yang sedang dialami, dan dari keinsyafan itulah ia bisa mengambil keputusan besar meski boleh jadi tidak difahami oleh orang lain.
Dari mana Memulainya ?
Rasanya kini memang sulit menentukan dari mana kita bisa memulai membangun budaya masyarakat yang berkarakter, karena kondisi tumpang tindih sebagai buah dari reformasi yang dijalankan persisi pada era globalisasi. Bagi masyarakat ultra modern, ekpressi kebebasan demokrasi sudah sangat mermuakkan, tetapi bagi kelompok urban, mereka sedang asyik-asyiknya menikmati kebebasan, bisa melempari polisi dengan batu, bisa mencaci-maki pemimpin yang dulu ditakuti, bisa merobohkan pintu gedrbang kantor pemerintah dan sebagainya. Rasanya kini tidak ada teori yang bisa digunakan sebagai dasar problem solving.
Belajar kepada sejarah Amerika, ternyata orang Amerika bisa juga bosan terhadap arogansi kulit putih terhadap kulit hitam. Limapuluh tahun yang lalu, orang negro benar-benar dinista dalam system social Amerika. Tetapi kini Presiden yang dipilih justeru orang kulit hitam, Obama barrack. Oleh karena itu kita tidak boleh perputus asa untuk tetap membangun karakter masyarakat yang bermartabat, meski hari-hari ini kurang laku. Membangun karakter dewasa ini sama sulitnya seperti menebar benih di musim kemarau, tidak tumbuh. Tetapi jika tidak ada yang menebar benih di musim kemarau, nanti ketika musim hujan yang tumbuh hanya alang-alang.
Pilihan-pilihan
Membangun budaya masyarakat bisa melalui lembaga pendidikan, lembaga social dan lembaga keagamaan. Ada aktifitas strategis yang selalu dijalankan setiap tahun, tetapi nampaknya belum disadari pentingnya sebagai media pembangunan budaya masyarakat berkarakter, yaitu paskibraka, atau pasukan pengibar bendera pusaka.
Media Paskibraka
Yang Nampak pada upacara 17 Agustus di istana hanya pasukan pengibar bendera pusaka yang berasal dari perwakilan pelajar se Indonesia. Dibalik itu sesungguhnya ada rangkaian panjang kegiatan yang berstruktur dan setiap tahun, yaitu proses rekruitmen dari sekolah-sekolah di daerah, dan ke atas diseleksi terus hingga terpilih 34 orang pasukan pengibar bendera tingkat nasional, dan ini dilakukan setiap tahun. Bersamaan dengan itu ternyata bukan hanya pengibaran bendera merah putih, tetapi juga ada lomba kuliner dan lomba adhi busana. Selutuh prose situ menanamkan budaya juara pada setiap tingkatan. Kita tahu dari pengalaman pasukan, merekja bisa menitikkan air mata ketika mencium bendera merah putih, satu penanaman rasa cinta tanah air, satu ajaran yang juga diajarkan oleh agama, hubbul wathan minal iman. Oleh karena itu sekiranya tradisi paskibraka dijadikan media pembangunan karakter nasionalis bagi generasi muda, sekaligus tradisi mental juara, akan merupakan benih karakter yang akan bertumbuhan setiap musim “hujan” di masa depan. Rasanya perlu ada yang memikirkan “institusi” ini untuk menjadi infrastruktur budaya membangun karakter juara.
Ditunggu siapa yang akan berinisiatip ?
0 komentar:
Posting Komentar